Menanam Harapan di Gunung Balak: Kisah Mbah Weluk dan RHL Merencanakan Panen

Pagi itu langit di Desa Gunung Mas tampak cerah. Sisa embun masih menempel di daun-daun tanaman, dan aroma tanah basah selepas hujan semalam membuat udara terasa segar. Jalan tanah yang kami lalui membelah hamparan kebun dan permukiman yang ada di Kawasan Hutan Lindung Register 38 Gunung Balak, wilayah yang secara topografi relatif datar, namun menyimpan kisah panjang tentang perubahan bentang alam dan perjuangan masyarakatnya.

Saya bersama Kepala BPDAS Way Seputih Way Sekampung dan Kasi RHL BPDAS WSS berkesempatan mengunjungi lokasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) tahun 2022, tepatnya di bidang garapan milik Mbah Weluk. Lahan itu seluas satu hektar, ditanami alpukat Siger, varietas unggul hasil pilihan petani sendiri. Lokasinya tak jauh dari jalan desa, mudah dijangkau, dan dikelilingi kebun-kebun masyarakat yang ditanami pisang, jagung, singkong, serta sayuran.

Begitu mobil berhenti, kami disambut langsung oleh Mbah Weluk, seorang lelaki berperawakan kekar, berkulit legam, dengan wajah tegas tapi ramah. Tangannya yang kasar menandakan hari-hari panjang bekerja di kebun. Ia tersenyum lebar sambil berkata, “Selamat datang, Pak, ayo lihat alpukat saya sekarang!”

Saya mengangguk dan mengikuti langkahnya. Di hadapan kami terbentang kebun alpukat yang rapi dan terawat. Tajuk-tajuk pohonnya sudah mulai saling bertemu, menciptakan naungan yang sejuk. Di sela-sela tanaman pokok tumbuh tanaman terong dan sayuran lain, bukti bahwa lahan ini hijau dan produktif.

“Kalau ada yang mati, langsung saya sulam,” kata Mbah Weluk sambil menunjuk barisan pohon di pinggir kebun. “Makanya hidupnya hampir seratus persen.” Dari nada suaranya terdengar jelas bahwa ia menanam bukan karena program, tapi karena keyakinan.

 

Dari Transmigran ke Penggerak Rehabilitasi

Sambil berjalan, Mbah Weluk mulai bercerita tentang hidupnya. Ia lahir dan besar di Desa Gunung Mas. Sekitar tahun 1980-an, ketika pemerintah menertibkan kawasan hutan dari para perambah dan menjalankan program reboisasi besar-besaran, ia sempat ikut program transmigrasi lokal ke Mesuji. “Katanya di sana lahannya luas, bisa menanam banyak,” kenangnya.

Namun, jiwa Mbah Weluk rupanya tetap tertambat di Gunung Mas. Ia kembali ke kampung halamannya setelah suatu waktu ikut pertandingan sepak bola di desa. “Habis main bola di sini, rasanya kok pengin tinggal lagi,” katanya sambil tertawa lebar. Kemudian ia menetap, membangun rumah, dan mulai menggarap lahan yang merupakan bagian dari kawasan hutan lindung.

Kawasan Hutan Lindung Register 38 Gunung Balak, termasuk di sekitar Gunung Mas sudah banyak berubah. Permukiman tumbuh di sana-sini, kebun-kebun tanaman pangan terbentang luas. Namun di tengah perubahan itu, semangat rehabilitasi mulai menyala, salah satunya lewat tangan-tangan petani seperti Mbah Weluk yang menghidupkan kembali fungsi hutan melalui tanaman produktif.

 

Alpukat Siger: Pilihan Petani, Penopang Ekonomi

Ketika program RHL Merencanakan Panen dijalankan di Gunung Mas pada tahun 2022, Mbah Weluk menjadi salah satu petani yang paling aktif berpartisipasi. Ia memilih menanam alpukat Siger, varietas lokal Lampung Timur yang terkenal produktif dan disukai pasar. “Saya lihat buahnya besar, rasanya enak, cepat berbuah, dan harga jualnya tinggi,” ujarnya.

Kini, tiga tahun setelah penanaman, pohon-pohon alpukat itu tumbuh subur dengan batang kokoh dan daun mengilap. Di bawahnya, dimanfaatkan budidaya sayuran dan sebagian tanah yang lain tertutup seresah, menandakan kelembaban terjaga dan tingkat erosi berkurang.

Panen raya tahun ini menjadi kebanggaan Mbah Weluk. Dari lahan seluas satu hektar, ia berhasil memanen sekitar 4.700 kilogram alpukat siger. Setelah panen utama, masih ada panen susulan (buah selang) berturut-turut: 80 kg, 50 kg, 30 kg, buahnya terus muncul. Harga alpukat di Gunung Mas saat panen raya tahun ini mencapai Rp 28.000 per kilogram untuk kelas A glowing super, dan Rp 23.000 per kilogram untuk kelas A pasar. Perbandingan dengan komoditas lain sungguh mencolok: hasil pisang, singkong, atau jagung dari lahan yang sama di sekitar lahan Mbah Weluk jauh di bawah nilai ekonominya.

“Kalau jagung, panennya cuma sebentar karena tanaman semusim. Pisang juga murah kalau banyak yang panen. Tapi alpukat ini beda, makin lama makin tinggi nilainya,” katanya dengan nada puas. Tak heran, banyak petani lain mulai menebang kebun pisangnya dan beralih menanam alpukat. Mengganti dari budidaya jagung dan singkong dengan menanam alpukat.

 

Sinergi Ekologi dan Ekonomi

Yang menarik, Mbah Weluk tidak hanya fokus pada hasil panen. Ia juga menjaga keberlanjutan ekosistem kebunnya. Di beberapa sudut, ia memelihara koloni lebah cerena untuk membantu penyerbukan bunga alpukat. “Kalau lebah rajin, buahnya juga banyak,” ujarnya sambil menunjukkan sarang lebah cerena di gundukan batu di bawah naungan pohon alpukat.

Ia juga membuat pagar keliling dan memelihara anjing penjaga untuk menghindari pencurian buah. Kebun itu tampak bersih, tertata, dan dijaga dengan rasa memiliki yang tinggi.

Inilah esensi dari RHL Merencanakan Panen, rehabilitasi yang bukan hanya menanam pohon demi tutupan lahan, tetapi menanam sistem yang hidup dan menguntungkan. Kepala BPDAS WSS yang turut hadir dalam kunjungan kami berkomentar, “Keberhasilan Mbah Weluk ini karena rasa memiliki. Ia tahu betul setiap pohon di kebunnya. Kalau semua petani seperti ini, RHL kita akan benar-benar berhasil.”

 

Pasar Terbuka, Harga Terjaga

Keberhasilan program RHL di Gunung Balak juga didukung oleh terobosan penting di bidang pemasaran. BPDAS WSS dan KPH Gunung Balak memfasilitasi kerja sama antara kelompok tani dan PT Indomarco Prismatama agar hasil alpukat petani memiliki akses pasar yang luas dan harga tetap stabil meski panen melimpah.

“Dari pengalaman banyak komoditi kalau panen banyak, harganya jatuh. Sekarang kami lebih tenang karena ada yang bantu salurkan,” ujar Mbah Weluk. Kolaborasi ini membuat petani tak lagi khawatir dengan fluktuasi harga. Bahkan, beberapa petani mulai belajar memilah buah berdasarkan kualitas agar bisa menembus pasar ritel modern.

Keberhasilan ini menular. Banyak petani di sekitar Gunung Mas dan Giri Mulyo kini menanam alpukat, menggantikan komoditas tanaman semusim yang selama ini hanya memberikan hasil kecil. Lahan yang dulu gundul kini berubah menjadi hamparan hijau. Selain meningkatkan pendapatan, kondisi lingkungan pun membaik, tanah lebih lembab dan udara lebih sejuk. Semoga dikemudian hari sumber air muncul kembali.

 

Dampak Berganda Program RHL

Kisah Mbah Weluk hanyalah satu dari banyak contoh keberhasilan RHL Merencanakan Panen di wilayah kerja KPH Gunung Balak. Ada petani lain di Desa Giri Mulyo yang tahun ini memperoleh penghasilan hingga Rp.265 juta dari panen alpukatnya, belum termasuk hasil tumpangsari. Ada pula yang memperoleh Rp 65 juta dari hasil tumpangsari terong di sela-sela pohon alpukat. Sebagian besar warga di Gunung Mas dan Giri Mulyo bahkan sudah mengembangkan usaha pembibitan alpukat sendiri, menjadi sumber ekonomi baru yang tumbuh dari semangat rehabilitasi.

Program ini membuktikan bahwa rehabilitasi hutan tidak selalu identik dengan larangan dan pembatasan, melainkan bisa menjadi jalan keluar untuk kesejahteraan masyarakat tanpa kehilangan fungsi ekologis kawasan. Dengan perencanaan yang baik, pendampingan yang intens, dan dukungan pasar yang jelas, RHL mampu melahirkan model kolaborasi yang hidup: hutan kembali hijau, rakyat kembali sejahtera.

 

Pelajaran dari Lapangan

Bagi saya, kunjungan ke lahan Mbah Weluk adalah pengalaman yang berkesan. Sebagai petugas yang menangani RHL, saya sering melihat berbagai dinamika program RHL, ada yang berhasil, ada yang belum. Tapi di Gunung Mas dan Giri Mulyo, saya menyaksikan sendiri bagaimana kerja keras, pendampingan yang konsisten, dan keterlibatan masyarakat bisa mengubah wajah kawasan hutan lindung.

Mbah Weluk mungkin tidak pernah bicara tentang istilah “keberlanjutan” atau “ekonomi hijau”, tapi praktiknya justru mewujudkan kedua hal itu. Ia menjaga tanahnya agar tetap subur, menanam tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, dan ikut menjaga keanekaragaman hayati dengan lebah-lebah yang ia pelihara.

“Kalau tanam itu jangan asal. Harus niat, harus dirawat. Pohon itu hidup, kalau kita sayang dia, dia juga kasih hasil,” ucapnya saat kami berbincang di bawah naungan pohon alpukat yang rimbun. Kalimat itu sederhana, tapi sarat makna. Ada filosofi hidup yang lahir dari tanah dan pengalaman, bukan dari teori.

 

Gunung Mas dan Giri Mulyo Menjadi Inspirasi

Kini, Gunung Mas dan Giri Mulyo mulai dikenal sebagai desa penghasil alpukat Siger. Di kanan kiri jalan, tampak deretan pohon alpukat tumbuh rapi di halaman dan pekarangan rumah juga di kebun-kebun masyarakat. Beberapa warga bahkan membuat pembibitan kecil, menyiapkan benih untuk musim tanam berikutnya.

Kelompok Tani Hutan juga semakin aktif, rutin bertemu untuk berbagi pengalaman, membahas harga, atau belajar okulasi bahkan membahas kegiatan sosial lain. Anak-anak muda ikut membantu orang tuanya memasarkan hasil panen secara daring. Kehidupan sosial pun terasa lebih hidup, gotong royong kembali tumbuh.

Bagi Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, BPDAS WSS dan KPH Gunung Balak, apa yang terjadi di Gunung Mas dan Giri Mulyo adalah bukti nyata bahwa pendekatan partisipatif dalam rehabilitasi hutan dan lahan berhasil. Program RHL Merencanakan Panen memberi ruang bagi masyarakat untuk berperan aktif, memilih jenis tanaman yang sesuai, dan menikmati langsung hasilnya.  Model seperti ini patut direplikasi di kawasan hutan lainnya, terutama yang sudah lama dihuni masyarakat.

 

Menutup Hari di Gunung Mas

Sebelum meninggalkan lokasi, Mbah Weluk mengajak kami menikmati kopi hangat di pondok kecil di pinggir kebunnya. Dari sana tampak pemandangan kebun yang hijau dan teratur. Sesekali terdengar dengung lebah dan kicau burung yang kembali menghuni kawasan itu. “Dulu di sini panas, tandus. Sekarang adem, banyak burung,” katanya dengan senyum puas.

Saya menatap hamparan pohon alpukat itu lama-lama. Dalam hati saya berpikir, inilah wujud nyata dari rehabilitasi yang berhasil. Pohonnya tumbuh dan harapan ikut tumbuh di hati orang-orang yang menanamnya.

Ketika kami berpamitan, Mbah Weluk melambaikan tangan sambil berkata, “Kalau mau lihat panen lagi, datang aja tahun depan, Pak. Insya Allah buahnya lebih banyak.”

Saya tersenyum. Dalam perjalanan pulang, pemandangan kebun alpukat di kiri-kanan jalan terasa seperti barisan harapan baru bagi masa depan Gunung Balak.  RHL tidak lagi sebatas program, melainkan sudah menjelma menjadi gerakan hidup, gerakan yang menanam masa depan dari akar yang paling dalam: tanah, kerja keras, dan cinta terhadap alam lingkungan.



Penulis :

Awal Budiantoro, S.Hut., M.Eng. Kabid PDAS dan RHL

Tag: Gunung Balak #RHL #Alpukat #AlpukatSiger #Lampung