KONDISI DAN PERMASALAHAN PENANDAAN BATAS AREAL PERHUTANAN SOSIAL DILAMPUNG
Bandar Lampung -- Penandaan
batas areal merupakan salah satu kegiatan penataan areal pada pengelolaan Perhutanaan
Sosial yang meliputi batas persetujuan areal dan titik koordinat tanda batas.
Penandaan batas areal dilaksanakan oleh kelompok untuk memperoleh kepastian
mengenai batas areal kerja. Penandaan batas dilakukan secara partisipatif oleh
tim yang terdiri dari pemegang persetujuan Perhutanan Sosial, pendamping, KPH,
Dinas Kehutanan dan pemegang persetujuan yang berdampingan.
Fungsi
utama Penandaan batas dalam pengelolaan
Perhutanaan Sosial sangat penting antara lain Penandaan batas memberikan
kepastian hukum bagi kelompok masyarakat atau individu yang mengelola
perhutanan sosial. Batas yang jelas memastikan bahwa areal yang diserahkan oleh
pemerintah adalah areal yang benar-benar mereka kelola, mencegah tumpang tindih
klaim dengan pihak lain, seperti perusahaan HPH (Hak Penguasaan Hutan) atau
masyarakat adat lainnya. Batas yang ditandai dengan baik berfungsi sebagai
"pagar" visual yang membedakan area kelola perhutanan sosial dari
hutan di sekitarnya. Ini memudahkan pengawasan oleh masyarakat setempat dan
pihak berwenang untuk mendeteksi dan mencegah aktivitas ilegal seperti
penebangan liar, perambahan, atau kebakaran hutan. Dengan batas yang jelas, masyarakat
dapat mengelola sumber daya hutan (seperti kayu, hasil hutan bukan kayu, dan
lahan pertanian) secara berkelanjutan di dalam area yang ditetapkan. Ini
mencegah eksploitasi berlebihan dan memastikan bahwa sumber daya tersebut
dimanfaatkan untuk kesejahteraan mereka sendiri. Konflik seringkali muncul
karena ketidakjelasan batas. Konflik ini bisa terjadi antara kelompok
masyarakat yang berbeda, antara masyarakat dengan perusahaan, atau dengan
pemerintah. Penandaan batas yang akurat dan disepakati oleh semua pihak adalah
langkah pertama yang paling efektif untuk mencegah dan menyelesaikan konflik.
Pengelolaan hutan yang baik memerlukan data spasial yang akurat. Dengan batas
yang jelas, masyarakat dapat membuat rencana tata ruang yang efektif, seperti
membagi area untuk agroforestri, restorasi ekosistem, atau zona perlindungan. Tanpa batas yang pasti, semua perencanaan ini akan
menjadi tidak akurat.
Hambatan
– hambatan dalam penandaan batas di Lampung sangat kompleks dan multidimensi
yang melibatkan aspek teknis, sosial dan kelembagaan. Ketidakjelasan batas
seringkali memicu konflik antara kelompok masyarakat, antara masyarakat dengan
perusahaan, atau dengan pemerintah. Misalnya, satu kelompok mengklaim area yang
juga diklaim oleh kelompok lain, yang berujung pada sengketa lahan. Penandaan
batas yang akurat memerlukan biaya yang tidak sedikit, hal ini menjadi beban
berat bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi lemah. Ada banyak pihak yang
terlibat dalam perhutanan sosial (Kementerian LHK, Pemerintah Daerah, KPH, LSM,
dan masyarakat), tetapi koordinasi dan sinkronisasi dalam penandaan batas
seringkali tidak berjalan optimal. Sebagian masyarakat penerima skema
perhutanan sosial belum sepenuhnya memahami pentingnya penandaan batas yang
akurat. Mereka mungkin melihatnya sebagai formalitas, bukan sebagai alat untuk
melindungi hak mereka dan mengelola hutan secara berkelanjutan.
Permasalahan-permasalahan
utama yang merupakan aspek teknis dalam pelaksanaan penandaan batas yaitu kondisi
geografis dilapangan, seperti medan dengan topografi yang sulit dijangkau dan
jauhnya target lokasi dari pusat pemerintahan. Kurangnya SDM tenaga teknis yang
terlatih dan terbatasnya peralatan survei yang memadai dan mendukung untuk
penandaan batas. Peta
dasar yang tidak akurat atau kurang detail, menyebabkan ketidaksesuaian data
dilapangan.
Permasalahan
penandaan batas pada aspek sosial yang sering terjadi yaitu terjadinya perselisihan
batas antara kelompok tani, atau dengan masyarakat adat dan pihak lain yang
memiliki klaim/kepentingan berbeda. Kelompok pemegang persetujuan kurang
memahami dan anggotanya masih banyak yang belum terlibat aktif dalam proses
penandaan batas hal ini menjadi faktor utama timbulnya konflik sosial.
Sedangkan
aspek regulasi dan administrasi yang sering menjadi masalah dalam penandaan
batas antara lain pengumpulan data dan penyusunan permohonan yang belum
memenuhi syarat sesuai peraturan dan standar yang ditetapkan pemerintah. Selain
itu koordinasi yang lambat dan tidak optimal antara Dinas Kehutanan, Balai
Perhutanan Sosial, dan BPKH Wilayah XX Bandar Lampung dan birokrasi yang lambat
dan panjang juga berkontribusi memperlambat proses persetujuan.
Beberapa
hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hambatan yang terjadi dalam
pelaksanaan penandaan batas antara lain meningkatkan kapasitas SDM melalui
pelatihan intensif bagi pendamping lapangan dan anggota kelompok tani.
Sinkronisasi data dan percepatan proses dengan membangun tim kerja bersama
dengan direktorat PKPS, BPKH Wilayah XX Bandar Lampung dan lembaga terkait
lainnya. Selain itu prosedur dan alur kerja yang sederhana dan efektif akan
sangat membantu percepatan pelaksanaan kegiatan penandaan batas.
Tag:


