PROGRESS PERHUTANAN SOSIAL PROVINSI LAMPUNG
Bandar Lampung -- Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan.
Kawasan hutan di Provinsi Lampung seluas 1.004.735 hektar atau setara 28,45% dari wilayah Provinsi Lampung, lebih kurang 564.954 hektar merupakan kewenangan dari pemerintah Provinsi Lampung, sedangkan sisanya merupakan kewenangan KLHK. Berdasarkan tata hutan di 17 UPTD KPH se-Provinsi Lampung, dari luas kawasan hutan kewenangan Pemerintah provinsi Lampung, 488.359 hektar (86,44%) diantaranya dikategorikan sebagai blok yang dapat dimanfaatkan baik dengan perizinan berusaha, maupun Perhutanan Sosial. Pada blok ini sebagian besar sudah ada aktifitas manusia didalamnya.
Untuk mengatasi aktifitas manusia di dalam kawasan hutan, maka di Provinsi Lampung di lakukan Program Perhutanan Sosial sesuai ketentuan yang berlaku.
Pemerintah Provinsi Lampung mendukung upaya pengembangan usaha PS dengan mendorong seluruh OPD Terkait pada level provinsi dan Kabupaten/Kota turut serta dalam mengembangkan usaha PS melalui Surat Gubernur Lampung Nomor : 522/0024/V.24/2021 tanggal 6 Januari 2021 perihal Dukungan Pengembangan Usaha PS (sebagai tindaklanjut SE Mendagri).
Untuk percepatan PS Provinsi
Lampung telah ditunjuk dan ditetapkan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan
Sosial (PPS) melalui Keputusan Gubernur Lampung Nomor : G/136/V.24/HK/2022
tanggal 18 Februari 2022 Tentang Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan
Sosial Provinsi Lampung Tahun 2022-2024.
Permasalahan
Pada usaha untuk perluasan persetujuan Perhutanan Sosial, tantangan yang dihadapi adalah adanya desa-desa definitif di dalam Kawasan hutan, lahan kawasan hutan bersertifikat hak milik, adanya tanaman sawit dalam kawasan hutan, sarana dan prasarana umum di dalam kawasan hutan, dan euphoria isu Tanah untuk Obyek Reforma Agraria (TORA), penegakan hukum yang belum kuat, menjadikan masyarakat merasa nyaman dan menganggap tidak penting ber-status legal dalam memanfaatkan kawasan hutan.
Kelembagaan Kelompok
Perhutanan Sosial juga belum seluruhnya kuat, ditandai dengan kurangnya
pertemuan-pertemuan ditingkat kelompok untuk menyusun rencana, berbagi
pengetahuan, dan melakukan monitoring internal kelompok. Semangat kebersamaan
kelompok yang tinggi pada saat berusaha mendapatkan legalitas namun
berangsur-angsur surut setelah legalitas dan keamanan mengelola Kawasan Hutan
tersebut di peroleh.
Kelompok Usaha Perhutanan
Sosial (KUPS) yang dibentuk KPS masih menghadapi tantangan dalam peningkatan
nilai tambah produk hasil pengolahan HHBK. Bahkan ada KUPS yang dibentuk hanya
untuk mendapatkan bantuan dari Pemerintah, dan usahanya tidak dapat berlanjut.
Pada Kawasan Hutan Lindung,
setelah kelompok melakukan upaya perbanyakan tanaman dan lahan Kelola nya
menjadi multistrata tajuk, ternyata tanaman pokoknya (khususnya kopi) menjadi
berkurang produktifitasnya, sementara petani dilarang untuk menebang tanaman
pohon yang menggangu tanaman pokok tersebut.
Dari sisi anggaran, anggaran
Dinas Kehutanan dan UPTD KPH untuk melakukan sosialisasi, melakukan monitoring
dan mendampingi kelompok petani hutan sangat terbatas, sehingga tanggung jawab
Pemerintah untuk mendampingi masyarakat pengeloa hutan juga tidak dapat
dilaksanakan dengan optimal.
Tag: Perhutanan Sosial